Kamis, 03 Februari 2011

BANYUMATARAM JADI PENGHULU

Film Sang Pencerah : Dakwah Halus Ajaran Wahabi

 Penasaran betul saya terhadap Sang Pencerah, film arahan Hanung Bramantyo. Bukan sekadar karena ingin mengenal ‘lebih dekat’ sosok KH Achmad Dachlan, pendiri Muhammadiyah, namun seberapa penting film itu bagi masa depan Indonesia, hingga Pak Din Syamsuddin rela menjadi juru bicara, mengiklankan film itu di televisi.
Jujur, saya berharap film itu bisa menjadi sumber pencerahan, aufklarung, bagi masyarakat muslim Indonesia, yang sebagiannya, belakangan sering ‘terlibat’ dalam keributan antarumat beragama. Gegeran Ahmadiyah, pelarangan umat Kristen menjalankan ibadah seperti di Ciketing, Bekasi, dan banyak lagi. Belum lagi kalau kita menyimak catatan kekerasan atas nama agama seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI).
Kelahiran Darwis, yang kelak berganti nama Achmad Dachlan, menjadi pembuka yang memukau. Aneka jenis sesaji sebagai uba rampé prosesi upacara selamatan atas kelahiran sang jabang bayi cukup menyentak.
Dengan setting Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang budaya keagamaannya sinkretis, karena meneruskan tradisi Mataram yang semula Hindu lantas ‘di-Islam-kan’ para wali, maka sesaji menjadi kata kunci. Doa-doa yang mewujud pada praktek Yasinan dan Tahlilan, yang sejatinya menjadi bagian dari proses transisi Islamisasi, lantas terpenggal. Berhenti tanpa penjelasan, sehingga polemikkhilafiyah yang mulai ditinggalkan sejak beberapa tahun belakangan, justru kembali mengemuka lewat film ini.
Ketidaksukaan Darwis remaja terhadap praktek pemberian sesaji dan upacara membakar kemenyan di bawah ringin kurung di alun-alun selatan kraton, misalnya, terasa janggal. Saat itu, Darwis belum tercerahkan. Bahwa ia kurang sreg terhadap praktek klenik demikian, boleh jadi benar. Hanya saja, tak ada penjelasan, dari mana dan atas ajaran siapa sehingga memunculkan sikap dan tindakan penolakan yang frontal.
Dalam benak saya, ada adegan yang memberi gambaran kepada penonton awam, bahwa sikap yang demikian kuat dipegangnya itu merujuk pada ajaran tertentu. Apalagi, ia dilahirkan dari keluarga yang dekat dengan tradisi keagamaan sinkretis ala Masjid Kauman, masjid agung yang serba diatur oleh Sultan sebagai penguasa tunggal dalam bidang politik dan agama.
Sejarah menunjukkan, paham pemurnian ajaran Islam justru ia peroleh usai proses naik hajinya yang kedua, pada 1902. Pada masa itulah ia terpengaruh gerakan pemurnian ajaran Islam, yakni kembali kepada Al Qur’an dan Hadis yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab, lalu secara teratur mempelajari pemikiran para reformis seperti Sayid Jamaluddin al-Afghani dan Tafsir al Manar karya Muhammad Abduh.
Sepulang dari hajinya yang kedua itulah, ia lantas berkeinginan kuat menghapus praktek keagamaan yang dianggap bid’ah, khurafat dan takhayul, sehingga perlu mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 1912. Untuk mengikis praktek yang dinilainya tak bersandar pada aaran Qur’an dan hadis itulah, ia menggunakan jalur pendidikan dan dakwah, ya lewat Muhammadiyah itu.
Asal tahu saja, gagasan KH Achmad Dachlan lewat organisasi yang dibentuknya itu segera memperoleh dukungan memadai dari organisasi-organisasi Islam lokal yang kelak meleburkan diri menjadi Muhammadiyah. Di antaranya adalah Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir dan Siratal Mustaqin (Makassar), Al Hidayah (Garut), Sidiq Amanah Tabligh Fathanah (Sala) dan belasan organisasi di Yogyakarta.
Hingga di sini, sosok Achmad Dachlan tak tergambar secara gamblang melalui Sang Pencerah. Malah, kekiaian Darwis dewasa justru terganggu dengan kurang fasihnya Lukman Sardi berbahasa Arab. Bahkan, untuk yang ‘standar’ seperti kalimat Assalamu’alaikum saja masih terasa kedororan.
Tentu, saya tak hendak mengolok-olok karya yang secara artistik tergolong sangat bagus itu. Pun, saya tak ingin membawa film ini ke ranah politik. Apapun, Sang Pencerah bukanlah film dokumenter yang harus mengupas sosok Darwis lengkap dengan kiprahnya dalam segala bidang.
Saya memakluminya sebagai film cerita, yang kisah dari jalinan ceritanya bisa dijadikan teladan. Ya kearifannya, kesantunannya yang menyejukkan, dan hal-hal yang serba baik lainnya, sehinggahikmah-nya benar-benar mampu menggugah umat Islam di Indonesia yang kini seperti kehilangan panutan dan gampang marah, mudah menyerang dan menyalahkan hingga mengkafirkan selain golongannya.
Saya rasa, sekian dulu uneg-uneg saya tentang Sang Pencerah, mengenai sosok KH Achmad Dachlan yang saya yakini memiliki segudang teladan, khususnya bagi saya. Esok atau lusa, semoga saya bisa menuliskan catatan tambahan, sebab hari ini, saya ingin menontonnya lagi. Saya suka filmnya, terutama akan keindahan gambar-gambarnya.

Film Sang Pencerah punya beban psikologis berupa biografi Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Film ini tak boleh semata2 hiburan. Fakta Ahmad Dahlan ternyata bernama asli Muhammad adalah sangat menarik. Seperti Abdurrahman Wahid yang ternyata Abdurrahman Ad Dakhil. Judul sangat menjawab kebutuhan biografi dlm film ini. Dan, film ini sah berbicara "Tentang Ahmad Dahlan", bukan tentang Muhammadiyah.

Di poster film tertulis judul "Sang Pencerah, film Tentang Ahmad Dahlan". Seharusnya tak ada beban biografi Muhammadiyah di sini. Saya memberi nilai 8 pada sinematografi film ini. Namun, saya merasa perlu cermat memelototi isu yang diangkat. Film dibuka dengan judenganement pengikut aliran Syekh Siti Jenar yang sesat -- yang pertahankan ritual sesaji shg ajaran Islam terbelok. Padahal, setahu saya, mistisisme Siti Jenar ga ada hubungann dengan sesaji & arwah2. Dia ajarkan mistisisme yang langsung ke Tuhan.
Mistisisme Siti Jenar mirip2 dengan Al Hallaj. "Siti Jenar ora ono, sing ono Allah. Allah ora ono, sing ono Siti Jenar." Ga ada sesaji2! Sesaji justru dibawa oleh Sunan Kalijaga ketika ia memasukkan Islam dalam masyarakat Hindu. Terjadi kawin-mawin budaya di situ. Sesaji, mantra, wayang, gamelan, dsb yang berbau Hindu dibawa oleh Kalijaga. So, judenganement thd Siti Jenar terasa salah alamat.

Kyai Penghulu, Ki Lurah Jamaah, Khatib Masjid Gede tinggal di Kauman di sekitar keraton. Mereka lebih ke Kalijaga, bukan Jenar. Sampai sekarang pun masih ada 2 kyai di kalangan keraton: kyai Kauman & kyai Hindu. Sebab, keraton memang tak lepas Hinduism. Terjadi simplifikasi yang memprihatinkan pd isu sesaji di film ini. Mosok sesaji "hanya dicolong"? That's it! Ga ada adegannya lagi. Padahal sesaji menjadi isu penting selain Yasinan&Tahlilan dan Kiblat -- di samping isu utama: pendirian Muhammadiyah. Isu Yasinan&Tahlilan yang seolah jadi isu abadi antara NU & Muhammadiyah juga diangkat di sini -- zonder adegan Yasinan&Tahlilan. Ya. Betul2 tidak ada adegan Yasinan&Tahlilan di film ini! Padahal, Ahmad Dahlan diadili salah satunya karena melarang Yasinan&Tahlilan.

Ada kejutan di adegan Ahmad Dahlan pulang dari Makkah membawa biola. Kelak, di adegan berikutnya biola menjadi senjata yang vital. Kenapa saya sebut senjata vital? Karena Hanung Bramantyo menempatkan biola sebagai ruh terpenting film ini. Saya yakin Hanung Bramantyo tak berani bermain2 sejarah soal fakta benar tidaknya Ahmad Dahlan (bisa) bermain biola. So, anggaplah Ahmad Dahlan memang (bisa) bermain biola. Lalu, mengapa saya menyebutnya sbg ruh terpenting dlm film ini? Sebab, santri bertanya,"Apakah agama itu, Kyai?" dan Ahmad Dahlan menjawab dengan memainkan biola. Ini adegan yang sangat vital & sensitif. Jawaban seorang ulama tentang pertanyaan "Apakah agama itu?" adalah jawaban yang sangat penting yang meletakkan fundamen film ini!

Pertanyaannya: benarkah jawaban Ahmad Dahlan yang dengan memainkan biola adl KUTIPAN ASLI dari rekam sejarah/biografinya? Atau fiksimini? Kalo memang benar permainan biola berjudul "Apakah Agama Itu?" sesuai kutipan aslinya, WOW! Kalo ternyata cuma rekaan: WADOOOWW!!! Selebihnya, Ahmad Dahlan berkata,"Agama hakikatnya seperti musik. Menentramkan, bla-bla-bla..." Tapi, itu pun tak tecermin di film.

Kenapa saya sebut tak tecermin? Lha di sepanjang fim, tak ada adegan yang menunjukkan Ahmad Dahlan & pengikutnya tentram. Mereka gusar! So, teori Ahmad Dahlan bahwa "agama hakikatnya seperti musik yang menentramkan" justru dibantah sendiri oleh naskah/adegan berikutnya. Dan, saya tidak diberitahu oleh sang pembuat film tentang bagaimana Ahmad Dahlan tiba2 bisa main biola. Apakah belajar di kapal?

Soal Yasinan&Tahlilan, saya ga tahu sejak kapan tradisi ini muncul. Tapi kok saya ga yakin Yasinan&Tahlilan ada sejak era Kalijaga. Kalo Yasinan&Tahlilan dikaitkan dengan Nyekar/Nyadran/Ziarah Kubur, beda lagi ceritanya. Nyadran dari kata Saddra: berhubungan dengan arwah. Saddra adl bahasa Sanskrit. So, ziarah kubur adl peninggalan Hindu/Buddha/Jawa. Ga ada urusan dengan Kalijaga atau Jenar. Ziarah jadi ada urusannya dengan Kalijaga saat Islam dibawa masuk&harus kawin-mawin dengan budaya lokal. But, it had nothing to do with Jenar!

Persoalan lain film ini adl kedangkalannya. Isu hanya diangkat di permukaan, dialog penyelesaiannya pun cenderung searah. Sesaji jika dikupas sbg warisan ajaran Kalijaga, wuih bagus banget nilai2 kearifan lokalnya. Tapi film ini terlanjur menuduh Jenar. Tapi, ya itu tadi: terjadi simplifikasi. Cuma dikasih adegan: "anak mau nikah, saya ga punya duit, bolehkah tanpa slametan/sesaji?"

"Saya mau Yasinan&Tahlilan, tapi gak punya duit, bolehkah ga usah Yasinan&Tahlilan?" Ini simplifikasi yang na'udzu billahi min dzalik! Seolah2 sesaji, Yasinan, dan Tahlilan cuma soal duit. Punya duit, laksanaken. Ga punya duit, gak usah gak apa2. Where is the value? Mengapa film ini cenderung menuduh Siti Jenar? Saya menduga, karena pembuat film tak mau ada gesekan NU-Muhammadiyah. Kenapa ga mau ada gesekan NU-Muhammadiyah? Ya karena film ini lebih "Tentang Muhammadiyah" daripada "Tentang Ahmad Dahlan". Kalo yang dituduh adalah Sunan Kalijaga, wah bahaya. Sunan yang satu ini sangat dihormati NU. So, Siti Jenar-lah yang jadi kambing hitam. Coba seandainya dijuduli , edisi bahasa Inggris-nya bisa jadi The Dervish. Wuih, sufistik sekali! Bisa jauh lebih keyyyeeen :))

Nah, kalau pun Ahmad Dahlan memerangi mereka yang masih beritual sesaji, salah alamat jika yang diperangi kaum-nya Islam Penghulu. Mereka yang masih beritual sesaji bukan dari golongan santri, apalagi santri Kauman, melainkan dari golongan ABANGAN. Mostly: Kejawen. So, film ini seharusnya Ahmad Dahlan vs Abangan (+Islam Yasinan&Tahlilan). Tapi saya samasekali tak melihat ada kaum abangan di sini.
Konflik dibangun & mendapat porsi yang paling besar pada isu Kiblat. Thd hal ini, saya rasa tak perlu dikritisi karena sudah sip :). Selebihnya, tentang perobohan Langgar Kidoel, gesekan2 soal "Kyai Kafir", dan gesekan "keluarga" cukuplah mewarnai film ini.

Film ini membubuhkan "Tentang Ahmad Dahlan" namun seingat saya tak ada kata "based on true story/berdasar kisah nyata". Benarkah? Jika saya yang luput melihat, mohon maaf. Tapi, jika memang tak ada penegasan "based on true story/berdasar kisah nyata", ya wassalam. Maka, saya memahami film ini (hanya) sebagai sebuah versi "Tentang Ahmad Dahlan" -- meski saya meragukan riset & dokumennya. Mengapa mostly anggap film ini bagus? Mengapa disebut perjuangkan perbedaan pendapat & kebebasan beragama? Ya karena dapet konteks. Saya rasa film ini harus membayar mahal pada Ahmadiyah. Sebab, ia mendapat konteks -- menjadi kontekstual -- karena isu Ahmadiyah. Jika tak ada isu Ahmadiyah, saya agak susah mencarikan konteks bagi film ini. Sebab, Muhammadiyah pun sdengan tak ada isu hangat. Penyerangan masjid, pelarangan ibadah, pengkafiran sesama Muslim, dengan terjadi terhadap Ahmadiyah. Dari situlah film ini dapet konteks.

Beredar kabar tentang Maklumat PBNU : Hati-hati menonton film yang secara halus membawa misi penyebaran ajaran wahaby dengan judul film SANG PENCERAH garapan sineas muda Hanung Bramantyo, lebih bijak jika kita menyerukan pada kawan-kawan lain unttuk tidak menonton film garapan Hanung yang bermuatan faham wahaby tersebut.
Masalahnya paham wahabi sangat berbahaya. . .taqwa ialah kunci kemenangan umat islam melawan yahudi, dan tawassul ialah tangga menuju taqwa. .bagaimana bisa kunci itu diraih bila jalan / tangga menuju kesana dibilang sesat ?. . .
Kalau kita cukup ilmu boleh ambil hkmahnya saja. .tapi buat yang masih awam, itu film bakal di telan mentah-mentah. . .
KH.Ahmad Dahlan sebenarnya juga aswaja, beliau juga tahlil tawasul burdah dll karena beliau murid dari syech kholil bangkalan dan juga teman syech hasim asary. tapi gak tau kenapa generasi sesudahnya merubah. Ya, karena beliau murid dari Syaikh Kholil Bangkalan, dan juga menurut cerita bahwa ketika mendirikan Muhammadiyah sebenarnya tidak di ridlai oleh Syaikh Kholil Bangkalan. Kepastiannya tentang hal ini. Wallahu A'lam.
Konon (tentu saja ini mungkin sekedar gosip yang masih wallahu'alam kebenarannya), ketika beliau telah 'berubah' dari beliau yang dahulu (menurut penerus beliau yang disebut aswaja murni dan menjauh dari hal-hal bid'ah), setelah menuntut ilmu jauh kenegeri seberang, beliau pulang ke kampung halaman dan sowan kepada guru beliau dahulu, seorang kiyai sufi yang aswaja tulen.. dalam diskusi antara guru dan murid tersebut, tjdlah silang pendapat antara murid dan guru.. sampai pada akhirnya, ketika beliau pamit dari rumah sang guru.. wallahu'alam entah mengapa, beliau tidak bisa berjalan.. tetapi ngesot (merangkak) dari rumah sang guru ke rumah beliau.. yaa tentu saja, itu cuma cerita.. yang kebenarannya wallahu'alam.. tapi banyak yang komentar kalau itu adalah karomah sang mursyid yang ditentang oleh beliau yang telah 'berubah'.. yaa bagaimanapun, beliau adalah tokoh besar yang saya kagumi dan hormati.. pendiri ormas yang besar di Indonesia.

Diposkan oleh alifjuman@yahoo.com di 07.49.00
Label: Artikel, Aswaja